Keputusan Kapolri dalam pengangkatan AS SDM Polri dan penunjukan Kapolda Jawa Timur menuai kritik terkait sistem meritokrasi yang dinilai belum optimal. Menurut pengamat kepolisian, pergantian pejabat dalam sebuah organisasi merupakan hal lumrah, namun kekosongan jabatan dapat menjadi masalah karena berdampak pada pencapaian tujuan organisasi. Pengisian jabatan kosong dengan pejabat ex officio sementara dianggap solusi sementara yang bisa dilakukan untuk menghindari dampak negatif.
Jabatan strategis seperti AS SDM Polri atau Kasatwil merupakan posisi vital, sehingga pengisian jabatan yang kosong dengan segera dianggap penting. Proses pergantian jabatan yang berjalan lambat menunjukkan kurangnya sistem merit di kepolisian, serta kurangnya pengembangan karir yang jelas. Penataan sistem bangunan karir lewat merit system dianggap sangat penting untuk mendapatkan pimpinan Polri yang terbaik di masa depan.
Masalah tarik ulur kepentingan di tubuh Polri dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan munculnya persepsi faksi-faksi atau ‘gank-gank’ di dalam kepolisian. Untuk itu, penataan sistem pengembangan karir dan promosi berdasarkan prestasi dan kompetensi dianggap penting guna menjaga marwah Polri sebagai penegak hukum. Kapolri saat ini diharapkan dapat memilih kandidat-kandidat terbaik untuk mengisi jabatan-jabatan strategis, tanpa terpengaruh tekanan atau kepentingan di luar Polri.
Kaderisasi yang dilakukan Asisten Kapolri bidang SDM dianggap sebagai langkah penting dalam membangun citra kepolisian melalui pengembangan karir personel. Pembangunan SDM Polri harus tetap mengedepankan meritokrasi dan profesionalitas, serta menghindari praktik nepotisme, kolusi, atau korupsi dalam pengisian jabatan-jabatan penting. Selain itu, promosi personel harus didasarkan pada prestasi dan kompetensi, bukan atas dasar balas budi atau hubungan personal dengan pimpinan.