Senin, 27 November 2023 – 22:52 WIB
Jakarta – Analis politik dari Universitas Krisnadwipayana, Ade Reza Hariyadi, mencatat sinyal kegelisahan kelompok mahasiswa terhadap manuver elit politik dan penguasa yang terus-menerus melanggar batasan-batasan konstitusi. Salah satunya terlihat dalam aksi sejumlah kelompok mahasiswa di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
“Ini menjadi kegelisahan anak muda terdidik dan juga sebagai bentuk koreksi terhadap perilaku para elite yang memperebutkan kekuasaan ini keluar dari pakem yang ditentukan dalam konstitusi,” kata Ade, Senin, 27 November 2023.
Salah satu hal yang memengaruhi kegelisahan tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan usia Capres-Cawapres. Putusan tersebut merevisi syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu. MK membolehkan calon yang belum berusia 40 tahun untuk bersaing menjadi capres dan cawapres, asalkan pernah dipilih menjadi kepala daerah.
Ade mengapresiasi sikap kritis kelompok mahasiswa di Yogyakarta, meskipun ia pesimistis gelombang protes bakal membesar. Pasalnya, isu politik dinasti Jokowi dan skandal putusan MK merupakan konsumsi elit yang tidak terkait langsung dengan kehidupan masyarakat.
“Isunya tidak cukup kuat mengakselerasi gerakan politik yang lebih besar, kecuali jika masalah ini berkelindan dengan masalah dengan masyarakat,” ucap Ade.
Untuk menjaga nafas gerakan, Ade menyarankan agar kelompok mahasiswa berkolaborasi dengan kaum buruh. Saat ini, serikat-serikat buruh sedang resah dengan aturan kenaikan upah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. PP itu dianggap tidak memenuhi kepentingan kaum buruh karena kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang dimandatkan jauh dari ekspektasi kaum buruh.
Sebagaimana diketahui, mahasiswa dari 35 kampus di Yogyakarta turun ke jalan sebagai bentuk aksi protes. Khusus di kawasan Tugu Yogyakarta, sebagian mahasiswa terlihat menggelar aksi unjuk rasa dengan mengenakan topeng Guy Fawkes atau topeng kelompok anonimus. Koordinator mahasiswa dalam aksi di Tugu Yogyakarta, Ahmad Kholil, menyebut penggunaan topeng anonimus merupakan simbolisasi perlawanan terhadap elite politik yang antidemokrasi.
Selain putusan MK, Kholil memaparkan sejumlah dosa elite politik yang perlahan-lahan membunuh demokrasi, mulai dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Pemerintah tidak pernah merespons aksi mahasiswa dan masyarakat. Omnibus Law bagi kami melanggar konstitusi. Pelemahan KPK melanggar konstitusi dan putusan MK terkait batas usia itu juga melanggar konstitusi,” ujar mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu.