Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengungkapkan bahwa saat memutus suatu perkara, terdapat potensi benturan kepentingan yang dianggap wajar oleh para hakim konstitusi. Dalam putusan Nomor 96/PUU/XVII/2020, terdapat benturan kepentingan antara masa jabatan hakim konstitusi dan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Majelis Kehormatan MK, Wahiduddin Adams, menjelaskan bahwa putusan tersebut adalah contoh dari adanya tradisi memeriksa perkara yang berpotensi munculnya benturan kepentingan, namun tidak dilakukan secara hati-hati dengan argumentasi yang meyakinkan.
Majelis Kehormatan MK juga menyatakan bahwa praktik pelanggaran benturan kepentingan sudah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar oleh para hakim konstitusi. Hal ini terjadi karena para hakim konstitusi tidak saling mengingatkan terhadap adanya benturan kepentingan. Potensi benturan kepentingan sebenarnya dapat dihindari jika setiap hakim konstitusi memiliki sensitivitas tinggi dan waspada terhadap isu benturan kepentingan. Selain itu, budaya saling mengingatkan di antara sesama hakim juga sangat penting dalam mencegah benturan kepentingan.
Sebelumnya, MKMK telah menyatakan bahwa enam hakim MK melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hakim-hakim tersebut dikenai sanksi teguran lisan secara kolektif. Selain itu, hakim terlapor Saldi Isra juga terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi. MKMK menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap Saldi Isra dan hakim konstitusi lainnya yang terlibat dalam praktik benturan kepentingan dan pelanggaran etika lainnya.
Sidang tersebut dipimpin oleh tiga anggota Majelis Kehormatan MK, yaitu Jimly Asshiddiqie sebagai ketua merangkap anggota, Wahiduddin Adams sebagai sekretaris merangkap anggota, dan Bintan R Saragih sebagai anggota.