Cacat Hukum Pelantikan Kepala Daerah Sebelum Sengketa Pilkada

by -35 Views

Pelantikan 270 kepala daerah terpilih dalam Pilkada Serentak 2024 yang dijadwalkan dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 6 Februari 2025 di Istana Kepresidenan, Jakarta, telah menimbulkan kontroversi. Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa pelantikan tersebut akan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pelantikan tersebut bertentangan dengan hukum. Maka dari itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melakukan revisi dan menunda pelantikan tersebut.

Pertanyaan tentang keabsahan pelantikan kepala daerah terpilih dalam konteks Pilkada 2024 menjadi perhatian utama. Para Gubernur, Bupati, dan Walikota mengajukan judicial review terhadap Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ke Mahkamah Konstitusi, mengingat bahwa ketentuan ini memotong masa jabatan kepala daerah terpilih di tahun 2020. Putusan MK memutuskan bahwa kepala daerah hasil Pilkada 2020 tetap menjabat hingga pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 resmi dilakukan. Namun, waktu pelantikan kepala daerah terpilih dalam Pilkada 2024 masih menjadi pertanyaan yang mengemuka.

Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pelantikan kepala daerah terpilih harus menunggu penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. MK memberikan pengecualian bagi daerah yang diwajibkan menjalani Pemungutan Suara Ulang (PSU) sebelum dilakukan pelantikan kepala daerah. Namun, penyelesaian sengketa Pilkada tidak cukup hanya dengan Putusan Dismissal dari MK, melainkan memerlukan pemeriksaan pokok perkara untuk memastikan legitimasi pemerintahan daerah secara hukum. Dalam konteks ini, kepatuhan terhadap putusan MK adalah kunci untuk menghindari potensi sengketa hukum yang lebih rumit di masa depan.