Setelah reformasi tahun 1998, pemberantasan korupsi menjadi fokus utama di Indonesia. Dari masa Orde Baru yang penuh korupsi, pelajaran berharga diperoleh bahwa korupsi harus dilawan bersama. Dampak buruk korupsi terhadap negara dan penghambatan pemerintahan yang bersih dan demokratis membuatnya menjadi musuh bersama yang harus diatasi. Sejumlah instrumen khusus dengan kewenangan luar biasa diambil langkah yang luar biasa. Mulai dari undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hingga berbagai instrumen penegakan hukum seperti KPK.
Selain KPK, pemerintah dan DPR mendirikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Meskipun awalnya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Mahkamah Konstitusi kemudian menyatakan pengadilan ini tidak konstitusional sesuai UUD 1945. Hal ini menimbulkan kekecewaan publik dan dipandang sebagai kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi. Mahkamah Konstitusi masih mempertimbangkan beberapa hal dalam putusannya, termasuk untuk menjaga ketertiban hukum dan semangat pemberantasan korupsi.
Menuju terobosan, DPR mengesahkan Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor sebagai tindaklanjut yang menyelesaikan ketidakpastian sebelumnya. Namun, seiring berjalannya waktu, pengadilan Tipikor mulai menghadapi masalah, kinerjanya menurun, dan mulai muncul berbagai kelemahan. Salah satu masalah yang ditemui adalah seleksi hakim di pengadilan Tipikor yang menimbulkan tantangan. Dengan kurangnya partisipasi akademisi, seleksi yang terburu-buru, keterbatasan anggaran, dan proses rekam jejak yang tidak optimal, kualitas hakim ad hoc di pengadilan Tipikor menjadi permasalahan utama yang mempengaruhi kinerjanya.