Sejak masa kemerdekaan, Indonesia telah melakukan beberapa kali perubahan pada kurikulum pendidikan. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan sistem pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Salah satu perubahan signifikan adalah dari Kurikulum 2013 (K13) menjadi Kurikulum Merdeka, yang diperkenalkan pada tahun 2022 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Indonesia di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim. Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas dalam pembelajaran, menekankan penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila (P5), dan menggunakan pendekatan berbasis proyek untuk meningkatkan soft skill siswa.
Perbedaan mendasar dengan Kurikulum 2013 adalah pemberian kebebasan kepada siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat mereka, sejalan dengan konsep Merdeka Belajar. Meskipun memiliki keunggulan, penerapan Kurikulum Merdeka masih menemui beberapa tantangan. Salah satunya adalah ketimpangan sarana dan prasarana antara sekolah di kota besar dan daerah terpencil. Banyak sekolah di wilayah terpencil masih kekurangan akses internet dan pemahaman teknologi yang memadai, sementara Kurikulum Merdeka membutuhkan dukungan teknologi.
Tantangan lainnya adalah kesiapan guru dalam menguasai teknologi dan mengelola administrasi secara digital, yang merupakan fokus utama dari Kurikulum Merdeka. Meskipun ada keinginan untuk mengganti kurikulum, langkah tersebut memerlukan waktu, biaya, dan tenaga yang besar. Sebagai gantinya, pemerintah sebaiknya lebih fokus pada penyempurnaan dan perbaikan Kurikulum Merdeka, serta memastikan pelatihan guru yang memadai dan infrastruktur yang merata. Evaluasi berkala juga penting untuk memastikan kurikulum tetap relevan dengan perkembangan zaman. Semua ini bertujuan agar pendidikan Indonesia dapat terus berkembang ke arah yang lebih baik.