Jakarta, VIVA – Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengkritisi hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada yang dianggap melanggar prinsip kepastian hukum, akuntabilitas pemilihan kepala daerah, dan dapat mengganggu efektivitas pemerintahan daerah.
Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N Suparman, menyebut revisi UU Pilkada ini sebagai sebuah langkah yang bermaksud untuk membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024.
“Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum karena melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada 20 Agustus 2024,” ujar Herman dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu, 22 Agustus 2024.
Menurutnya, putusan MK ini adalah keputusan final dan mengikat yang menegaskan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam kompetisi pemilihan kepala daerah. Herman juga menekankan pentingnya kapasitas dan integritas kepala daerah dalam tata kelola pemerintahan daerah yang baik.
KPPOD mengambil sikap sebagai berikut:
1. Mendukung penuh pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada 20 Agustus 2024.
2. Menolak revisi UU Pilkada yang dapat merusak integritas dan keadilan dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia.
3. Meminta Pemerintah dan DPR untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi.
4. Meminta KPU untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 20 Agustus 2024.
Sebelumnya, Baleg DPR RI dan pemerintah sepakat melanjutkan pembahasan RUU Pilkada untuk disahkan menjadi undang-undang. Persetujuan tersebut diambil dalam Rapat Panja RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Ada dua poin krusial dalam pembahasan RUU Pilkada, yaitu penyesuaian syarat usia pencalonan sesuai putusan Mahkamah Agung dan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah sesuai dengan putusan MK.