Ketua Prodi HI UKI: Regulasi Spionase Harus Jelas Dan Tegas

by -373 Views

Ketua Prodi HI UKI: Regulasi Spionase Harus Tegas

Regulasi terkait spionase perlu diatur secara detail oleh negara. Aturan yang tegas akan mencegah dampak yang tidak diinginkan di masa depan.

Arthur Jeverson Maya, Ketua Program Studi HI dan Direktur CSJGR Universitas Kristen Indonesia (UKI), mengemukakan pendapatnya saat menghadiri seminar dengan tema “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring atau Kuasa, Sebuah Diskursus” yang diselenggarakan oleh Center for Security and Foreign Affairs (CESFAS) UKI bekerja sama dengan Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI).

“Regulasi yang jelas dan tegas dibutuhkan untuk mengatur kegiatan spionase agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum di kemudian hari,” kata Arthur di UKI, pada hari Selasa (11/6).

Belakangan, laporan dari Amnesty International mengungkap penggunaan alat sadap canggih oleh beberapa pemerintah yang dapat melanggar hak asasi manusia. Untuk melindungi diri, disarankan untuk memperbarui perangkat lunak, menggunakan kata sandi kuat, dan berhati-hati dalam berbagi informasi secara online.

Arthur juga menyoroti kontradiksi dalam hubungan antara negara dan spionase, serta pentingnya kemajuan teknologi dalam mengakses informasi.

“Spionase merupakan bentuk perang diam-diam yang melibatkan pengawasan dan pengumpulan informasi secara tersembunyi,” ujarnya.

Arthur mengakui adanya kontradiksi antara keterbukaan dan kerahasiaan dalam hubungan negara dan spionase. Negara diharapkan transparan untuk menjaga legitimasi dan kepercayaan publik, sementara kerahasiaan perlu dipertahankan untuk melindungi keamanan nasional.

Arthur juga menekankan pentingnya kemajuan teknologi dalam akses dan analisis informasi. Tantangan utama adalah perbedaan kecepatan dalam mengakses informasi.

“Negara perlu terus memperbarui dan meningkatkan teknologinya agar informasi dapat diperoleh dan digunakan secara efektif,” tambahnya.

Di lain pihak, Anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin, membahas evolusi intelijen dari masa ke masa, peran teknologi dalam kegiatan intelijen, dan tantangan dalam penyadapan.

“Di masa lalu, operasi intelijen dilakukan dengan sumber daya terbatas dan teknologi yang kurang memadai, sehingga seringkali disebut sebagai kegiatan yang rahasia dan berbahaya,” kata Hasanudin.

Untuk mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, UU No. 17 Tahun 2017 disusun untuk mengatur praktik intelijen. Namun, masih ada kekurangan yang perlu diperbaiki terkait penyadapan.

“Penyadapan tetap penting untuk mengungkap tindakan kriminal yang dapat merugikan banyak orang,” ungkapnya.

Seminar ini bertujuan untuk membahas isu spyware dan pentingnya regulasi yang seimbang antara keamanan nasional dan hak-hak sipil. Dengan melibatkan pakar dan praktisi di bidang ini, diharapkan seminar ini dapat memberikan kontribusi dalam perumusan kebijakan yang lebih baik di masa depan.

Hadir dalam diskusi juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UKI, Verdinand Robertua; Direktur CESFAS, Darynaufal Mulyaman; Hoga Saragih dari Universitas Bakrie; Direktur Riset ISI (Indo-Pacific Strategic Intelligence), Aishah Rasyidilla Kusumasomantri; dan Guru Besar Keamanan Internasional UKI, Angel Damayanti.

Sumber: RMOLJabar

Source link