Memberi Arti pada Perjuangan – prabowo2024.net

by -146 Views

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Bab VI: Sikap-sikap Pemenang] 

“Saya percaya, ‘ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana’. Harga diri seseorang terletak dari lidahnya dan kemampuan menempatkan diri sesuai situasinya. Hormati lawan secara sportif. ‘Menang tanpo ngasorake’.”

Kalau dulu penjajahan datang dengan fisik secara brutal, kondisi sekarang lebih sulit. Penjajahan sering tidak terlihat. Tidak bawa tentara, tidak bawa kapal perang. Penguasaan bentuknya lain sekarang.

Para penjajah menyogok pejabat-pejabat kita, memengaruhi para intelektual kita, mengadu domba suku-suku kita dan agama-agama kita ala politik divide et impera.

Ini semua masih terus berlaku. Mereka yang tidak mau belajar sejarah akan dihukum oleh sejarah, dengan mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan oleh pendahulunya. Kita harus ingat akan hal tersebut.

Agar kita tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu, dan agar kita dapat bangkit menjadi bangsa yang menang, kita harus pelajari dan hidupkan sikap-sikap pemenang para pendahulu kita. Terutama pendahulu kita yang telah memberi kemenangan besar bagi bangsa Indonesia.

Melalui buku ini, saya ingin berbagi dengan saudara, pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan dari bacaan saya, dari pengalaman saya, dan dari pemimpin-pemimpin saya, komandan-komandan saya.

Sebelumnya saya sudah cerita mengenai Jenderal Jusuf. Banyak Jenderal angkatan ’45 yang seperti beliau ini, yang bersih, yang jujur, yang di ujung hidupnya tidak punya apa-apa. Mereka pemimpin luar biasa. Saya merasa banyak saya dipengaruhi mereka. Mereka juga orang yang punya kreativitas, punya inisiatif, karena mereka merasa tentara rakyat.

Kisah Pak Jusuf mengingatkan saya dengan kisah Salahuddin. Salahuddin Al Ayyubi adalah salah satu tokoh idola saya. Kenapa? Karena pertama, dia seorang panglima perang yang tangguh. Dia berhasil dalam berbagai pertempuran dan dia punya kepemimpinan dan kenegarawanan yang sangat luar biasa. Dan dia selalu bertindak sangat santun, sangat kesatria, bahkan terhadap lawan-lawannya.

Banyak kisah beliau, misalkan suatu saat lawan beliau yang tangguh adalah Richard the Lionheart, Raja Richard yang pertama dari Inggris, Richard si Hati Singa. Ia adalah lawan tangguh. Suatu saat, Richard terkepung oleh pasukannya Salahuddin Al Ayyubi dan Richard jatuh dari kuda. Salahuddin lihat dari bukit, kemudian adik kandungnya dipanggil suruh bawa kuda, antar ke Richard, dan pasukan yang mengepung disuruh mundur.

Jadi kudanya Salahuddin dikasih ke lawannya, dan pasukannya disuruh mundur. Richard the Lionheart disuruh pergi untuk melanjutkan.

Contoh-contoh leadership semacam ini sangat dikagumi di mana-mana, termasuk di Barat. Dan kita ingat, saat beliau menjadi pemimpin kekaisaran Islam pada saat itu, dari Tunisia, dari Libya perbatasan Mesir, Suriah, Irak, sampai perbatasan Persia, Jazirah, semua di bawah kekuasaan beliau.

Nah yang paling mengharukan saat beliau meninggal, mereka bongkar istana beliau ternyata tidak ada harta karun, tidak ada kekayaan beliau. Karenanya, untuk melaksanakan pemakamannya sangat sulit. Akhirnya, dipanggillah panglima-panglima dari daerah-daerah untuk menyumbang agar salah satu pahlawan Islam yang paling terkenal itu bisa dimakamkan dengan baik.

Jadi saya sudah cerita tentang pelajaran yang saya ambil dari senior-senior saya di TNI, dari tokoh-tokoh besar seperti Salahuddin, sekarang saya juga mau cerita tentang pelajaran dari salah seorang life mentor saya, Gus Dur.

Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk kenal baik dengan Gus Dur dari sejak saya Mayor. Sebetulnya, ibunya Gus Dur dengan eyang saya juga tetangga sangat dekat, usianya hampir sama, di Jalan Taman Matraman 10. Saya kira kalau sudah suatu usia, dan bertetangga, biasalah budaya suka ngerumpi bersama. Saya tidak akan lupa, saya terharu waktu nenek saya meninggal, ibunya Gus Dur yang memandikan nenek saya. Demikian hubungannya dekat.

Jadi antara keluarga Wahid Hasyim, Gus Dur, dengan keluarga saya baik, tetapi terutama secara pribadi juga saya kenal baik sama beliau. Sering kali kita tidak cocok, kita ada perbedaan pandangan, tetapi ya di ujungnya saya sadar bahwa Gus Dur orang yang sangat visioner. Islamnya Islam yang sangat moderat, Islam yang inklusif, Islam yang bisa berdialog dengan semua agama lain.

Pelajaran paling penting yang saya ambil dari Gus Dur adalah sifat beliau yang selalu moderat. Dengan siapa pun dia tidak mau bermusuhan, dan dia selalu mengayomi. Islam kita harus Islam yang damai. Dia baik sama orang Nasrani, Kristiani, bahkan sama orang Yahudi pun dia berani buka hubungan. Yang penting kita berhubungan. Yang penting kita dialog. Belum tentu kita setuju dengan pendapatnya.

Jadi sifat untuk menghormati semua orang, sifat untuk mencari titik-titik temu, ini pengaruh terbesar beliau kepada saya. Semoga hal-hal ini dapat saya bagikan kepada saudara melalui buku ini.

Melalui buku ini, saya juga ingin mengajak saudara sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah jasad para pemuda, para pejuang, para rakyat Indonesia di seluruh Nusantara hanya akan menjadi tulang tidak berarti, atau menjadi inspirasi bagi gerakan kita ke depan?

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya tidak bisa hidup tenang, mengetahui banyak anggota bangsa Indonesia saat ini tidak tahu perjuangan I Gusti Ngurah Rai, Ignatius Slamet Riyadi, Wolter Mongisidi, Bung Tomo, Pak Dirman, Pangeran Diponegoro. Saya tidak bisa tenang mengetahui banyak anggota bangsa kita tidak mengetahui sikap-sikap terbaik bangsa Indonesia.

Saya tidak bisa tinggal diam mengetahui nama Diponegoro, nama Gadjah Mada, nama Untung Suropati, tinggal menjadi nama jalan dan nama taman di kota-kota Indonesia.

Saya dari kecil gemar membaca. Dulu kan tidak ada televisi, tidak ada gadget, tidak ada Internet, tidak ada YouTube. Jadi kalau waktunya main, waktu saya kecil ya main layang-layang, main kelereng, main gasing, main perang-perangan, sepak bola, dan akhirnya baca.

Selain baca buku, saya suka dengar dongeng dari kakek saya, dari bapak saya. Dongeng tentang Gadjah Mada, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar. Mereka selalu cerita tentang pahlawan-pahlawan kita. Dan bagi mereka angkatan ’45 pokoknya Indonesia itu lebih hebat.

Dulu saat saya sekolah di sekolah Inggris, saya diajarkan sejarah pahlawan-pahlawan mereka, misalkan tentang Duke of Wellington, tentang Lord Nelson. Kalau perangnya diceritakan tentang Montgomery. Saat saya pulang ke rumah, saya cerita tentang Montgomery, langsung bapak saya bilang, “Tapi Panglima Besar Soedirman lebih hebat.” Selalu itu. “Diponegoro lebih hebat.” “Siapa itu Wellington? Diponegoro!”

Angkatan ’45 sangat percaya diri, sangat bangga, dan mereka sensitif. Karena mungkin mereka merasakan dihina sebagai bangsa, ditindas, dibilang inlander. “Koe inlander. Koe orang mau merdeka? Bikin peniti saja tidak bisa, mau merdeka.” Karena ada yang menghina kita, mereka melawan.

Saya juga sering diceritakan tentang paman-paman saya yang gugur. Jadi di rumah kakek saya, rumah Pak Margono di Jalan Taman Matraman No. 10, sekarang namanya Taman Amir Hamzah, di Jakarta, ada ruangan Subianto dan Sujono. Dua putranya waktu perjuangan setelah kemerdekaan, Subianto dan Sujono masuk tentara. Yang satu langsung perwira. Dia dari Fakultas Kedokteran. Mungkin karena dari kedokteran, dia langsung jadi perwira. Yang satu masuk Akademi Militer Tangerang.

Nah, Januari ’46 terjadilah Pertempuran Lengkong di mana Daan Mogot sebagai komandan dan taruna-taruna akademi militer pergi berusaha merebut pangkalan Jepang. Terjadi bentrokan senjata. Mati semua, gugur semua. Termasuk Subianto, walaupun sudah perwira dia mau gabung di situ. Jadi kakek saya hilang dua putranya di hari yang sama.

Peristiwa ini tidak bisa ia lupakan. Jadi kamar dua paman saya itu, di Taman Matraman waktu itu, dipertahankan. Ransel mereka, helm mereka, sepatu mereka. Jadi kakek saya, setiap kali saya datang hari Minggu ke sana, dia sudah siapkan tendanya Subianto dipasang lagi. Jadi saya disuruh main di tenda-tendaan. Jadi dibawa ke kamarnya, dan ditunjukkan, “ini ranselnya, ini sepatunya, ini helmnya, itu tempat tidurnya.”

Mari kita sekarang pelajari, dalami, jalani, sikap-sikap para pejuang kita. Mari kita beri arti nilai kepada perjuangan mereka.

Source link