Kabut Pagi, Warna-warni Adat, dan Ribuan Hati yang Satu
Sebuah Tradisi yang Mengingatkan Siapa Kita
Ngertakeun Bumi Lamba berasal dari bahasa Sunda: ngertakeun berarti memuliakan, merawat, menjaga, sedangkan bumi lamba merujuk pada tanah luas, lambang dari semesta yang tak berbatas. Tradisi ini diyakini sudah hidup sejak masa kerajaan Sunda kuno dan pada 1964 dihidupkan kembali oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata, seorang tokoh yang ingin menarik manusia kembali ke akar kesadarannya terhadap alam.
Ketika ritual dimulai, bunyi karinding terdengar lirih. Getarannya terasa lebih di dada ketimbang di telinga. Denting angklung, genta Bali, dan tabuhan Minahasa menyusul, membungkus suasana dalam harmoni. Tak satu pun berbicara; yang terdengar hanya napas, musik, dan doa yang menyatu dengan angin.
Pesan-pesan yang Menyentuh Hati
Di tengah ritual, sejumlah tokoh nasional menyampaikan pesan.
- Bapak Wiratno: “Kita hanya sedang meminjam bumi ini. Suatu hari harus kita kembalikan dengan utuh kepada mereka yang belum lahir.”
- Andy Utama: “Jangan pernah menghitung dengan semesta. Kalau semesta mulai menghitung dengan kita, kerugian itu tak akan sanggup kita bayar.”
- Mayjen Rido: menyebut upacara ini sebagai “pengadilan batin,” yang memaksa manusia merenungi dirinya sendiri.
- Panglima Dayak: “Alam tidak pernah membutuhkan manusia. Manusia yang selalu bergantung pada alam.”
- Panglima Minahasa: “Gunung adalah penjaga masa depan. Di sini Bhineka Tunggal Ika nyata. Di sini Pancasila hidup. Merdeka!”
Dari Kata-kata ke Tindakan
Ritual ini tidak berhenti sebagai seremoni. Di Megamendung, di kaki Gunung Gede-Pangrango dan Tangkuban Parahu, komunitas Arista Montana bersama Yayasan Paseban sudah bekerja nyata. Lebih dari 15.000 pohon telah mereka tanam: puspa, damar, bambu, dan aneka tanaman hutan lainnya. Bagi mereka, ritual ini bukan hanya janji yang diucapkan, tetapi juga janji yang diwujudkan di bumi.
Baca juga: Andy Utama dan Cinta Bumi dalam Aksi Nyata
Pekikan Janji yang Membelah Sunyi
Ketika ritual berakhir, Panglima Dayak berdiri gagah dan memimpin pekikan keras, “Taariu! Taariu! Taariu!” Pekikan itu menggema, menyusup ke kabut, dan kembali ke dada-dada mereka yang mendengar. Sebuah janji terpatri: bumi akan terus dirawat, leluhur akan tetap dihormati, dan manusia tidak akan lupa bahwa mereka hanyalah bagian dari semesta yang lebih besar.
Langkah-langkah para peserta saat meninggalkan tempat terasa ringan. Di hati mereka tertanam tekad baru: menjaga bumi bukan tugas siapa-siapa, tetapi tugas setiap orang yang berani memeluknya dengan cinta.
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam