Setelah 75 Tahun Lebih Merdeka, Kita Belum Sejahtera

by -153 Views

Indonesia kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi sebagian besar rakyat Indonesia saat ini masih hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini disebut sebagai Paradoks Indonesia. Ekonomi Kita Tidak Sehat Jika kita mau tahu apakah pencapaian ekonomi kita selama 30 tahun terakhir sudah baik atau belum, kita harus bandingkan dengan pencapaian ekonomi negara lain. Misalkan, kita bisa bandingkan pencapaian kita dengan Tiongkok, dan negara tetangga kita Singapura. Perbedaan besar aktivitas ekonomi atau pendapatan domestik bruto (PDB) Tiongkok, pada periode 30 tahun sejak 1985 sampai 2019, adalah 46 kali lipat. Pada tahun 1985, PDB Tiongkok adalah USD 309 miliar – angka ini naik ke USD 14,3 triliun di tahun 2019. Sebagai perbandingan, dalam periode yang sama, besar ekonomi Singapura tumbuh 19,5 kali lipat. Besar aktivitas ekonomi Indonesia hanya tumbuh 13 kali lipat. Bagaimanakah caranya, ekonomi Tiongkok yang pada tahun 1985 hanya 3,6 kali lebih besar dari ekonomi Indonesia, tumbuh begitu pesat sehingga 30 tahun kemudian ekonomi Tiongkok bisa 12,8 kali lebih besar dari ekonomi Indonesia? Menurut kajian banyak ahli ekonomi, pertumbuhan ekonomi Tiongkok bisa begitu cepat karena Tiongkok secara sungguh-sungguh mengimplementasikan prinsip-prinsip state capitalism, atau kapitalisme negara. Artinya, seluruh cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan seluruh sumber daya alam dikuasai oleh negara. Di Tiongkok, pengelolaan cabang-cabang produksi penting dan sumber daya alam dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tiongkok menjadikan BUMN sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi negaranya. Saat ini ada lebih dari 150.000 BUMN di Tiongkok, yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tiongkok. 82 BUMN Tiongkok ada di daftar Fortune Global 500 perusahaan terbesar dunia – dari total 143 perusahaan Tiongkok di daftar Fortune Global 500. Sebagai contoh, pada tahun 1984 Tiongkok mendirikan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC). Sekarang ICBC adalah bank terbesar di dunia dan mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Tiongkok. Sementara itu, kita, walaupun bunyi dari Pasal 33 UUD 1945 hampir sama dengan prinsip kapitalisme negara ala Tiongkok, dalam mengelola cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam di Indonesia, kita malah banyak menyerahkan pengelolaan ekonomi kita ke mekanisme pasar. Dengan kata lain, kita tidak secara sungguh-sungguh menjalankan Pasal 33 UUD 1945, sementara Tiongkok menjalankannya. Inilah sebabnya saya mengatakan, haluan ekonomi kita saat ini belum tepat. Pengelolaan ekonomi Indonesia belum sesuai dengan amanat sistem ekonomi negara di Pasal 33. Malah, saat ini kita terperangkap dalam sistem ekonomi oligarki – baik di tingkat nasional dan juga di tingkat daerah. Dalam sistem oligarki, perekonomian negara dikuasai oleh segelintir orang-orang super kaya. Ekonomi diatur oleh beberapa orang super kaya, bukan oleh negara. Hal ini mungkin karena 1% orang terkaya Indonesia menguasai 36% kekayaan Indonesia. 10% orang terkaya Indonesia menguasai 66% kekayaan Indonesia. Kekuatan uang mereka banyak menentukan kehidupan ekonomi dan politik dari bangsa kita. Keputusan Politik Menentukan Rakyat Indonesia Kaya atau Miskin Negara kita kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kita sebenarnya bisa menjadi negara kelas atas. Seluruh rakyat Indonesia bisa hidup sejahtera, bebas dari kemiskinan, kelaparan dan kebodohan. Sesungguhnya, inilah tujuan kita merdeka. Untuk menjadi negara sejahtera. Namun untuk mencapai tujuan itu, kita perlu mengelola kekayaan negara kita dengan baik. Pengelolaan kekayaan negara adalah keputusan politik, baik itu di tingkat daerah atau di tingkat nasional. Keputusan-keputusan politik yang keliru akan membuat rakyat kita semakin miskin. Sebaliknya, keputusan-keputusan politik yang tepat akan membuat rakyat kita semakin sejahtera. Karena itu, penting bagi kita untuk memilih pemimpin yang tepat untuk negara ini. Sekarang Waktunya Sadarkan Kader Bangsa Paradoks yang dialami negara kita saat ini adalah masalah kepemimpinan, kearifan, dan kehendak untuk mengambil keputusan politik yang tepat. Jika elit Indonesia yang mendapatkan kepercayaan untuk memimpin melalui proses demokrasi punya jiwa kepemimpinan, kearifan, dan kehendak, maka tidak butuh waktu yang lama untuk menjadikan Paradoks Indonesia bagian sejarah bangsa kita. Kita tidak boleh diam dan menerima dicap sebagai bangsa pengalah. Kita harus jadi bangsa pemenang. Kita harus jadi bangsa pembuat. Bukan takdir bangsa Indonesia jadi bangsa yang lemah, tetapi bangsa yang kuat, bangsa yang terhormat. Tetapi, dalam perjuangan memperkuat ekonomi negara dan rakyat Indonesia, kita harus hati-hati, bijak, dan harus arif. Yang harus kita sadari adalah bahwa pertumbuhan ekonomi sebaiknya harus mencapai dua digit, atau pertumbuhan di atas angka 10% secara berkelanjutan. Kita tidak boleh puas dengan pertumbuhan ekonomi 5%, kita harus keluar dari kondisi middle income trap. Kita harus jadi negara kelas atas.

Source link